Jumat, 05 Februari 2010

kehidupan masyarakat minang

1. Norma Kehidupan


Apa yang bakal terjadi bila manusia hidup atas dasar hukum rimba?. Yang kuat akan memakan yang lemah. Yang besar akan menindas yang kecil. Yang pintar akan menipu yang bodoh. Kehidupan akan segera menjadi neraka. Manusia mungkin akan segera musnah.

Nenek moyang orang Minang, nampaknya sejak beribu


tahun yang lalu telah memahami bahaya ini bagi hidup dan kehidupannya, apalagi bagi kelangsungan anak dan cucunya. Karena itu mereka telah menciptakan norma-norma kehidupan yang akan menjamin ketertiban-kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bagi mereka sendiri dan anak cucunya sepanjang zaman.

Norma-norma itu antara lain berupa aturan-aturan yang sangat esensial bagi kehidupan yang tertib aman dan damai. Aturan-aturan itu antara lain mengatur hubungan antara wanita dan pria, aturan mengenai harta kekayaan, yang menjadi tumpuan kehidupan manusia, norma-norma tentang tata krama pergaulan dan sistim kekerabatan. Kalau dipelajari dengan seksama, ketentuan adat Minang mengenai hal-hal diatas, agaknya tidak ada seorangpun diantara kita yang tidak kagum dan bangga dengan aturan itu. Kalau kita tahu manfaat dari aturan-aturan itu, agaknya tidak seorangpun diantara kita yang mengingini lenyapnya aturan itu. Namun sayangnya banyak juga diantara kita yang kurang memahami aturan-aturan adat itu sehingga kurang mencintainya. Tak tahu maka tak kenal, tak kenal maka tak cinta. Kebanyakan kita dewasa ini memang sudah banyak yang melupakan norma-norma kehidupan yang terkandung dalam ajaran adat Minang.

(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)

2. Sistem Matrilinial


Menurut para ahli antropologi tua pada abad 19 seperti J. Lublock, G.a. Wilken dan sebagainya, manusia pada mulanya hidup berkelompok, kumpul kebo dan melahirkan keturunan tanpa ikatan.

Kelompok keluarga batih (Nuclear Family) yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak seperti sekarang belum ada.

Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara "ibu dan anak-anaknya" sebagai satu kelompok keluarga karena anak-anak hanya mengenal ibunya dan tidak tahu siapa dan dimana ayahnya. Dalam kelompok keluarga batih "ibu dan anak-anaknya" ini, si Ibulah yang menjadi Kepala Keluarga.

Dalam kelompok ini mulai berlaku aturan bahwa persenggamaan (persetubuhan) antara ibu dan anak lelakinya dihindari dan dipantangkan (tabu). Inilah asal mula perkawinan diluar batas kelompok sendiri yang sekarang disebut dengan "adat eksogami". Artinya perkawinan hanya boleh dilakukan dengan pihak luar, dan sebaliknya perkawinan dalam kelompok serumpun tidak diperkenankan sepanjang adat.

Kelompok keluarga itu tadi makin lama makin bertambah banyak anggotanya. Karena "garis keturunan" selalu diperhitungkan menurut "Garis Ibu", dengan demikian terbentuk suatu masyarakat yang oleh para sarjana seperti Wilken disebut masyarakat "matriarchat".

Istilah "matriarchat" yang berarti "ibu yang berkuasa" sudah ditinggalkan. Para ahli sudah tahu bahwa sistem "ibu yang berkuasa" itu tidak ada. Yang ada ialah kelompok keluarga yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu atau dalam bahasa asing disebut garis "matrilinial".

Jadi dalam sistem kekerabatan "matrilinial" terdapat 3 unsur yang paling dominan :

* Garis keturunan "menurut garis ibu".
* Perkawinan harus dengan kelompok lain diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah Eksogami matrilinial.
* Ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga

(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)

3. Hubungan Individu dan Kelompok


Manusia secara alami tidak mungkin hidup sendiri. Setiap individu membutuhkan orang lain untuk bisa hidup. Sudah menjadi hukum alam dan merupakan takdir Tuhan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup bersama dan bekerjasama. Ia telah ditentukan harus hidup berkelompok dan hidup bermasyarakat.

Kelompok kecil dalam masyarakat Minang adalah suku, sedangkan kelompok terbesar, terlihat dari kacamata adat Minang adalah nagari. Suku sebagai kelompok terkecil, seyogianya harus dipahami dan dihayati betul oleh orang-orang Minang. Kalau tidak akan mudah sekali tergelincir pada pengertian bahwa keluarga terkecil adalah keluarga batih yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak. Pengertian yang keliru inilah yang sering membawa pecahnya kekeluargaan Minang, karena mamak rumah, dunsanak ibu, bahkan Penghulu suku tidak lagi dianggap keluarga.

Selain itu sifat dasar masyarakat Minang adalah "kepemilikan bersama". Tiap individu menjadi milik bersama dari kelompoknya. Sebaliknya tiap kelompok itu menjadi milik dari semua individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa saling memiliki ini menjadi sumber dari timbulnya rasa setia kawan (solidaritas) yang tinggi, rasa kebersamaan, rasa tolong menolong. Tiap individu akan mencintai kelompok sukunya dan setiap anggota dari satu suku akan selalu mengayomi atau melindungi setiap individu.

Kehidupan individu terhadap kelompok sukunya bagaikan kehidupan ikan dengan air. Ikan adalah individu sedangkan air adalah suku tempat hidup. Bila si ikan dikeluarkan dari air, maka ia akan segera mati. Dari sini lahirlah pepatah yang berbunyi :

Suku yang tidak bisa dianjak Malu yang tidak bisa dibagi.

Dengan melihat hubungan individu dengan kelompoknya seperti digambarkan diatas, maka jelas antara individu dan kelompoknya akan saling mempengaruhi. Individu yang berwatak baik, akan membentuk masyarakat yang rukun dan damai. Sebaliknya kelompok yang tertata rapi, akan melahirkan individu-individu yang tertib dan berdisiplin baik.

Dengan demikian nenek moyang orang Minang, telah memberikan kriteria tertentu yang dianggap ideal untuk menjadi sifat-sifat orang-orang Minang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar